Oleh : Minke
Drs. Moh. Hatta pernah berkata : “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta”.
Saya Indonesia, kamu Indonesia, dan kita semua adalah indonesia. Bukan karena pilihan kita, tapi karena itu takdir kita. Tanah ini mengizinkan untuk diinjak adanya perbedaan. Perbedaan budaya, perbedaan ras, perbedaan suku bangsa, perbedaan warna kulit, perbedaan agama kepercayaan dan perbedaan bahasa daerah.
Dipisahkan jarak dengan 5.245 km dari sabang sampai merauke, memiliki 17.504 pulau, memiliki 1.340 suku bangsa, 6 Agama, dan 718 bahasa daerah. Sebagai sebuah bangsa keberagaman itulah yang membuat kita kaya, sudah banyak perjuangan yang kita lewati secara kolektif, untuk terus merawat perbedaan ini. Sehingga, sampai detik ini kita masih dalam satu bingkai kebhinnekaan “Bhinneka tunggal ika”.
Tepat tahun ini, indonesia menginjakan usianya 78 tahun dan rupanya masih terlalu singkat kalau dijadikan untuk mewujudkan cita-cita: negara aman sentausa, adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Bahkan, sudah melewati beberapa dekade seperti sekarang, juga sepertinya masih jauh dari apa yang akan dicapai oleh bangsa indonesia sesuai amanat proklamasi, terutama jika tujuan kita untuk mencapai “Baldatun Thoyiban warobbun ghofuur”. Akan tetapi, kita tidak perlu pesimis, selama masih ada generasi muda dalam bangsa ini.
Syaikh Musthofa Al-Ghulayani dalam kitabnya menyatakan:
إِنَّ فِي يَدِ الشُّبَانِ أَمْرَ الأُمَّةِ وَفِي إِقْدَامِهِمْ حَيَاتَهَا
”Sesungguhnya ditangan pemudalah letaknya ummat, dan dikaki merekalah terdapat kehidupan ummat”
Disini kita bisa melihat seberapa pemuda mememegang peranan penting dalam keberhasilan suatu bangsa. Karena ditangan kaum mudalah, maju mundurnya suatu bangsa dan dalam derap langkah mereka pula kejayaan bangsa akan terwujud.
Adanya kekurangan yang kita miliki sebagai bangsa dan negara, membuat sebagian anak bangsa, menerima keadaan dengan pasrah dan tidak berani menaruh harapan. Namun tidak dengan saya, tidak pula dengan kamu, tidak dengan santri Indonesia. Kita sebagai santri adalah orang-orang yang masih percaya bahwa harapan itu masih ada. Sekitar kurang lebih 2000 santri pilihan yang berada disini, dari sekian banyak pemuda dan pemudi, dan dari sekian banyak pilihan lembaga pendidikan yang ada, kita tetap memilih pondok pesantren sebagai pelabuhan kita untuk menempa diri.
Tentu kita memiliki alasan yang beragam. Tapi, kita sebagai santri Indonesia, alasan yang paling mendasar mengapa kita ada disini, karena kita menaruh harapan dan percaya bahwa pondok pesantren dapat membuat kita berkembang dan maju.
Rekan-rekan pemilik jiwa pemberani. Percayalah, tempat ini, gedung ini, dinding pesantren ini dan dibawah langit ini akan menjadi saksi, bahwa disini adalah laboratorium peradaban sekaligus kawah candradimukanya pemuda-pemudi luar biasa. Dan dari tempat ini akan lahir; akan lahir Guru-guru, Ekonom-ekonom, Politisi-politisi, Negarawan, Dokter, Lawyer, Pengusaha, Teknokrat, dan Pemimpin-pemimpin bangsa, yang mana semua itu berkontribusi penting dan tugasnya adalah untuk bahu membahu bersama merawat bangsa ini. Yang akan mengimplementasikan nilai-nilai islam pesantren, dan akan mengkomparasikan nilai nasionalis dan religius. Juga menerapkan nilai yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara; “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, didepan memberikan contoh, ditengah memberikan semangat, dibelakang memberikan semangat.
Hadirnya Republik ini bukan hanya mendeklarasikan kemerdekaan, para pendiri bangsa atau founding fathers, kita telah berjuang untuk melahirkan sebuah konsepsi yang harus kita jaga, sampai akhir hayat kita. Pancasila dengan lima butir mutiaranya yang dimulai dari “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dan semboyan kita “Binneka Tunggal Ika”yang akan terus merawat perbedaan dan keberagaman ini.

Indonesia Bediri diatas tiang harapan; merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur. Kehilangan harapan adalah kehilangan identitas sebagai suatu bangsa. Indonesia telah merajut beragam peristiwa untuk kemerdekaan negeri ini, pertumpahan darah dan nyawa menjadi saksi berdirinya Indonesia, para pejuang berjuang, untuk berdirinya negeri yang adil dan makmur.
Maka, negeri ini adalah negeri harapan, dan bukanlah negeri ratapan. Maka berhenti meratap dan mulai berharap. Namun tentu, harapan bukanlah satu satunya syarat untuk mencapai sebuah perubahan, harapan dan optimisme itu tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya perjuangan dan keberanian untuk mewujudkanya. Mekipun ada 1000 alasan yang membuat kita menyerah dan berputus asa, percayalah, bahwa ada 1001 alasan bagi kita untuk tetap menyalakan harapan. Bagi saya, kamu, kita semua dan Indonesia.
Dari sekian latar belakang yang berbeda, kami mengajak semua yang ada dalam naungan atap pesantren ini untuk menjadi bagian barisan pejuang harapan negeri ini, maka jangan pesimis terhadap negeri ini, jangan pesimis untuk masa depan indonesia, saya, kamu, dan kita semua.
Atas nama bangsa indonesia; Hiduplah Tanahku! Hiduplah Negeriku! Bangsaku! Rakyatku! Dan Semuanya! Sehingga Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya. Untuk siapa? Untuk Indonesia Raya!
Dirgahayu Negeriku.
Ilmu dan Bakti Kuberikan Adil dan Makmur Kuperjuangkan!
Mantaull