Sudah menjadi kewajiban santri untuk selalu berpegang teguh dan memiliki sikap percaya diri tanpa mengandalkan orang lain. Hal ini juga pernah menjadi pengalaman Abah Hakim semasa di pondok yang hanya di beri uang saku sebesar Rp.20.000 saja perbulan, dengan perincian yang 5.000 untuk pembayaran Syahriah Pondok, Rp.5.000 lagi untuk Syahriah Madrasah dan Rp.10.000 sisanya untuk iuran Liwet (makanan pokok sehari-hari). Dari sini beliau bisa belajar untuk hidup sederhana dan mencari cara agar tetap bisa bertahan meski dengan uang yang pas-pasan. Bukan berarti tidak memiliki kasih sayang, justru hal ini menjadi bentuk kasih sayang mereka kepada putra putrinya agar kelak menjadi orang yang percaya diri dan terbiasa hidup mandiri.
Perjuangan beliau bersama teman-temannya tentu tidaklah mudah,mulai dari membagi uang liwet tersebut dengan berbagai strategi agar cukup untuk satu bulan dan tetap berlaukan telor, harus mengganti pembelian kayu bakar seharga Rp.1.500 per ikat dengan mencarinya sendiri di perkebunan jati yang kurang lebih berjarak 2 km, mencari dan meminta jantung pisang kepada warga sekitar. Meski dengan lauk sederhana ini mereka masih tetap menyebutnya dengan Mayoran, bahkan menjadi salah satu memori yang sulit untuk dilupakkan beliau hingga saat ini. Hal ini sama sekali tidak mematahkan semangat mereka dalam mengaji dan mencukupi segala sandang pangan.
“kamu tidak akan pernah mencapai apapun, jika kamu tidak percaya kalau kamu bisa melakukannya” tutur Abah Hakim, agar kita bisa belajar sekaligus mengambil hikmah dari setiap langkah hidup dan tunjukan optimis tinggi sebagai santri.
@Daniey
Inspiratif