Kriteria Hilal

Setetes Ilmu556 Dilihat

“Firman Allah ta’ala yang artinya ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)”.

Di Indonesia sendiri, terkadang penentuan hari raya ‘Idul Fitri tak selalu jatuh serempak. Letak permasalahan yang berbeda dengan keputusan ulil amri, mengambil dasar kesepakatan mayoritas ulama (as-sawadul a’zham). Karena pada dasarnya, terdapat metode perhitungan (hisab) dengan ketetapan berdasarkan “hisab hakiki wujudul hilal” artinya berapapun derajat positif tinggi hilal maka ditetapkan “hilal sudah wujud”. Kemudian terdapat metode Ru’yatul Hilal (melihat hilal), artinya hilal memang sudah diketahui melalui drajat positiftinggi hilal secara sempurna.

Pada metode hisab berkeyakinan “hilal sudah terwujud” apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa. Jadi andaipun mereka merukyat maka yang dilihat bukannya hilal namun pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya atau piringan bawah menurut kalender hijriah Ummul Qura dengan marjaknya adalah kota Mekah) masih di atas ufuk.

Sebenarnya tentu boleh menggunakan metode perhitungan (hisab) agar kita dapat mengetahui lebih awal namun kita harus menterjemahkan sunnah Rasulullah shallallahu alaih wasallam kewajiban “melihat hilal” kedalam metode perhitungan (hisab) yang disebut kriteria visibilitas hilal artinya kritera berapa derajatkah hilal dapat dikatakan terlihat oleh manusia (imkanur rukyat).

Sedangkan pada kriteria Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut:

1.     Umur hilal minimum 8 jam.

2.     Kriteria Imkanur Rukyah hilal awal bulan disepakati menjadi 3 derajat untuk tingginya dan 6,4 derajat untuk elongasinya.

Hal ini disepakati oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaisia, Singapura) bukan sekadar angka tawar-menawar, melainkan ada pertimbangan ilmiah. Pakar Astronomi Prof Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa ketinggian hilal 3 derajat disepakati karena kekuatan cahaya bulan di bawah 3 derajat kalah dengan cahaya mega (syafaq). Kuatnya cahaya mega membuat hilal yang masih di bawah 3 derajat itu sulit untuk dapat teramati.

“Tidak ada data rukyat yang sahih di bawah 3 derajat. Itu cahaya syafaq masih cukup kuat. Didasarkan pada faktor gangguan cahaya syafaq,” kata Thomas dalam pemaparannya saat Seminar Posisi Hilal Penentu Awal Ramadhan 1443 Hijriah di Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (1/4/2022).

“Hilal terlalu rendah dan tidak mungkin bisa mengalahkan cahaya syafaq sehingga tidak mungkin,” lanjutnya. Sementara itu, angka 6,4 derajat elongasi, jarak antara bulan dan matahari, dipilih karena mempertimbangkan kelihatan fisik hilal. Hal ini disebabkan jarak yang terlalu dekat membuat hilal sulit terlihat sebagaimana kriteria yang dulu ditetapkan hanya berjarak 3 derajat untuk elongasinya.

Sayangnya, terkadang ru’yatul hilal juga terkendala oleh cuaca atau kondisi awan. Sehingga, banyak dalil yang menegaskan “jika terhalang oleh awan” yang menunjukkan terhalangnya penglihatan sehingga jika menggunakan metode perhitungan (hisab) harus memenuhi kriteria mata manusia rata-rata yang dikatakan “hilal terlihat” atau visibilitas hilal atau imkanur rukyat.

 “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh“. (HR Bukhari 1776)

لَا تَقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ إلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ )رواه البخاري ومسلم

“Jangan mendahului bulan (Ramadhan) dengan (berpuasa) sehari atau dua hari, kecuali hari tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan salah seorang dari kalian“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Secara definitif, yaum asy-syakk adalah hari ke-30 dari bulan Sya’ban, di mana telah tersiar kabar bahwa semalam hilal berhasil di-rukyah atau dilihat, dan keadaan langit pada malam itu cerah, tidak mendung, tetapi tak satupun orang yang menyatakan kesaksian di hadapan hakim bahwa dia telah melihat hilal. Atau ada kesaksian penglihatan hilal, tetapi dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi hilal, seperti anak kecil, wanita, budak atau orang fasiq (pelaku maksiat), yang kesaksiannya tidak diyakini kebenarannya.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman mayoritas kaum muslim atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

<

p style=”text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;”>(Dirujuk dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *